Mudik adalah hal yang paling menyenangkan
bagi perantau. Istilah mudik biasanya dipakai saat pulang kampung ketika lebaran
Idul Fitri. Tapi bagiku mudik bisa kapan saja, tidak harus menunggu lebaran tiba. Asalkan
kita seorang perantau, ibadah mudik sudah jadi bagian dari kita dan bisa
dilaksanakan kapan saja.
Beberapa hari yang lalu pun aku menunaikan ibadah mudik.
Sudah hampir 6 bulan ini aku belum pulang ke rumah. Sebenarnya aku sudah merantau sejak lulus dari kelas
6 SD karena aku harus melanjutkan
pendidikan di pesantren. Belajar hidup mandiri sebagai seorang santri. Ketika itu jarak
yang harus ditempuh dari rumah ke pesantren hanya sekitar 2 jam ditempuh dengan motor.
Tidak terlalu jauh memang, tapi lumayan untuk belajar mandiri bagi seorang bocah
yang baru lulus SD.
Tiga tahun berlalu dengan suka duka jauh
dari orang tua. Belajar survive ketika kiriman telat datang. Aku sudah mulai
terbiasa mengurus hidup sendiri. Setelah lulus SMP di pesantren itu,
aku pindah ke pesantren lain untuk melanjutkan SMA. Kali ini
lebih jauh dari pesantren sebelumnya. Aku harus menempuh 7 sampai 9 jam
perjalanan menggunakan bus. Jombang adalah kota berikutnya yang ku singgahi untuk
merantau. Tiga tahun juga terlewati dengan mulus.
Kemudian tinggal di kota Malang untuk kuliah,
4 tahun lebih tinggal di sana. Pernah juga bekerja di Jakarta, Bali, hingga Madura
selama 2 tahun belakangan ini. Jika ditotal, hampir 12 tahun aku merantau
dari rumah. Dari perjalananku itu aku belajar banyak tentang hidup dan kehidupan,
belajar menghargai orang lain, dan belajar tentang cinta dan kasih. Tetapi, aku tidak ingin menceritakan apa
yang aku lewati selama aku jauh dari rumah. Justru sebaliknya, aku ingin menyampaikan betapa indahnya
pulang dan betapa bahagianya berkumpul dengan keluarga
.
Ketika aku tiba di rumah, dan selesai sungkem
dan mencium ibu, kalian tahu apa kalimat pertama yang diucapkan ibuku? Bertanya
kabar? Bukan. Bertanya buah tangan? Bukan juga.
"Masih suka kopi pahit kan, nak? Ini
ibu sudah buatkan". Ya, itu adalah kalimat pertama yang ibu tanyakan.
Mungkin menurut kalian biasa saja. Tapi, menurutku di sana sudah paket komplit
tentang rindu.
Aku memang suka kopi pahit. Dua sendok kopi
dan satu sendok gula sebagai pelengkapnya. Namun, dengan menawarkan kopi pahit kesukaan
anaknya, ibu menunjukkan betapa pahit dan merananya jauh dari anak bungsunya. Dibalik
senyum bahagianya, di sana ada rasa rindu yang pecah ketika anaknya sudah
di depan mata. Aku seolah sudah menjawab pertanyaannya yang selalu diajukan
ketika kita hanya bertemu via telpon.
Mudikku kali ini penuh rindu bercampur haru.
Setiap aku menghidu aroma kopiku dan menyesap pahitnya, rasanya ada yang ingin
tumpah di bagian mata. Pertama kalinya selama 12 tahun aku merasakan yang
seperti ini, sederhana namun penuh cinta.
Kelak,
adakah yang tulus merindu seperti ibu dan bapakku?
Kelak,
adakah kopi nikmat seperti buatan ibu?
Kelak,
adakah yang setia menunggu seperti ibu dan bapak?
Kelak,
adakah pelukan hangat seperti pelukan mereka berdua?
Inilah
cinta abadi
Inilah
rindu abadi
Ibu
dan bapak adalah rumah yang sesungguhnya
Peluknya
adalah sambut terhangat
Mereka
tempat pulang ternyaman
Untuk kalian yang sedang jauh dari rumah,
sempatkanlah mudik dan bertemu orang tua. Setidaknya sapa mereka lewat telpon.
Temanku sering berkata, "pulanglah selagi orang tuamu masih ada".
___
Sudah selesai bacanya? Sekarang komen dong.
Sebagai bukti kalau yang baca itu manusia, dan hidup hehe.