“Kapan pulang, nak?”
Waktu itu lebaran masih kurang 2 minggu lagi, dan pertanyaan di atas sudah diulang-ulang oleh ibu setiap kali telepon. Dan saya selalu memberi jawaban yang tak pernah pasti. Bukan php (pemberi harapan palsu), karna memang pekerjaan saya tak bisa ditebak jadwal liburnya.
Ketika H-3 lebaran saya meminta jatah libur untuk mbalik dheso. Awalnya kepala produksi sedikit susah dinego masalah pulang kali ini. Tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya bisa dan boleh untuk mudik, dengan syarat pulangnya hanya dijatah 2 hari.
Akhirnya saya pulang di malam takbiran dan kembali H+1 lebaran. Madura-Probolinggo bukan jarak yang dekat, butuh 5 sampai 6 jam perjalanan dengan menggunakan motor. Kalau dengan transportasi umum mungkin waktunya akan lebih lama.
Perayaan lebaran kali ini saya habiskan diperjalanan dengan motor matic kesayangan. Awakku remuk lur motoran 2 dino. Tapi tak apalah, semua demi bisa sungkem dengan kedua orang tua.
***
Takbir sudah berkumandang di mushola-mushola dan masjid-masjid terdekat, tapi pekerjaan masih belum selesai di waktu itu. Aku dikejar waktu, dan rindu.
Setelah menyelesaikan semua gawean, jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, saya pun langsung bergegas pulang. Saya memilih malam takbiran untuk pulang karna saya rasa malam takbiran jalanan tak akan sepi. Dan benar sekali, belum setengah jam perjalanan saya terjebak macet oleh orang-orang yang sedang berkonvoi untuk takbiran keliling. Hari kemenangan memang harus disambut dengan suka cita. Tak berapa lama saya sudah lolos dari kemacetan dan melanjutkan perjalanan dengan kecepatan 80-100 km/jam. Matic tua sepertinya hanya sebegitu kecepatan maksimalnya.
Perjalanan masih lama, makin ke Timur suasana makin sepi. Mulai dari Bangil, Pasuruan, hingga Probolinggo. Saya sudah tidak lagi dihadang dengan kemacetan konvoi. Mungkin karna sudah makin larut malam dan orang-orang sudah capek kali ya. Hehe.
Pukul setengah tiga pagi saya tiba di rumah. Ketika saya ketok jendela kamar ibu dan bapak, mereka langsung merespon dan membukakan pintu. Ternyata bapak dan ibu sengaja tidak tidur menunggu anak lanang-nya ini pulang. Aku salim dan kucium mereka berdua. Kepulanganku memang benar-benar sudah ditunggu. Aku terhura, huhu.
Dewasa ini, yang aku rindukan dari pulang bukan lagi soal perjalanannya, suasana desa, ataupun cangkeme tetangga yang selalu kepo soal apa pun. Hehe. Aku selalu kangen ngobrol santai dengan ibu bapak dengan suguhan kopi pahit buatan ibu. Bercerita apa saja, mulai dari pekerjaan, tetangga yang anaknya menikah, atau kejadian-kejadian yang baru terjadi di desa (kok jatuhnya malah kaya ghibah ya, wkwk), sampai bertanya soal pacar baru saya. Untuk yang terakhir itu sih saya konsisten menjawab dengan “hehe” saja.
Ibu dan bapak semakin tua, keriput makin jelas terlihat di wajah keduanya. Uban semakin tak terhitung jumlahnya. Dan sampai sekarang saya belum merasa pernah membahagiakan beliau berdua, malah sering mengecewakan. Huh, dasar aku.
Saya benci tumbuh dewasa, sedangkan harus melihat ibu dan bapak semakin tua.
Mencium dan memeluk keduanya selalu saya lakukan ketika pulang atau hendak balik ke perantauan. Tapi, di setiap lebaran, cium dan peluk selalu dibanjiri dengan air mata yang tiba-tiba tumpah dari pelupuk mata. Entah kenapa lebaran selalu menjadi momentum saya menangis di depan beliau. Kok jadi melankolis sih. Hadeh.
Intinya, pulang tak harus menunggu menjadi orang sukses, membawa mobil mewah, banyak duit, atau membawa calon istri. Orang tua hanya butuh anaknya pulang dan bisa menikmati canda bersama.
Berbahagialah para perantau yang masih bisa pulang untuk memeluk dan mencium orang tuanya.
(Viqi, 2 Syawal 1440H)